TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

Senin, 25 April 2011

pulau UM pulau terindah di pesisir PANTURA (pantai utara) Kabupaten Sorong

Pantai “Pulau UM” adalah pulau dengan suguhan pemandangan terindah “ Surga Pantai”, pantai yang terletak membentuk bibir teluk Dore ini menyuguhkan Pantai terindah lengkap dengan keindahan bawah laut dengan terumbu karang dan biota laut yang indah, selain itu dipulau ini juga dijumpai ribuan burung kelelawar yang bergelantungan dipohon-pohon cemara ditengah pulau, tidak itu saja jika anda bernasib baik anda masih dapat melihat burung maleo (ayam hutan) dengan aneka burung lainnya yang mendiami pulau ini.

Dipantai Pulau Um anda dapat bebas berenang, berjemur, bermain perahu, bahkan menikmati indahnya Matahari terbenam diufuk barat tepat diatas teluk Dore di balik punggung bumi Malamoi. Buaian angin pantai yang berhembus lembut serasa, membius untuk betah tinggal lebih lama di bibir pantai. Kemewahan pantai dan langit jinga terbenamnya sang surya itu bisa Anda temukan di Pulau Um.
Pulau di bibir teluk dore yang terbentang tepat di depan desa Malaumkarta ini membentuk pintu masuk ke kota Distrik Makbon, Kabupaten Malamoi Sorong, Papua Barat, ini menjadi salah satu tujuan yang wajib Anda kunjuni jika berada di wilayah paling timur Indonesia apalagi kalau anda nemoi (orang asli moi).


Pulau Um terbilang mungil, bahkan Anda hanya membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit untuk mengelilingi pulau ini dengan bertelanjang kaki.

Hanya satu yang bisa dijanjikan dari kunjungan ke Pulau Um ini, yaitu ketenangan ala pantai nemoi yang natural dan kekayaan alam yang sesungguhnya terbentang menyapa para wisatawan yang pendatang.

Jika Anda suka menyelam, jangan lupa untuk membawa perlengkapan selam Anda. Pasalnya, Pulau Um akan memanjakan indera Anda dengan suguhan beragam ikan karang, penyu, lola, teripang, lobster, dan indahnya karang yang terpahat alami.

Nikmati indahnya panorama bawah laut Pulau Um yang sangat menarik lantaran sistem sasi laut yang diterapkan warga Kampung Malaumkarta. Sasi laut adalah larangan untuk menangkap jenis fauna laut tertentu di sebuah kawasan dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh masyarakatnya.Asal tahu saja, Kampung Malaumkarta yang berada berhadapan dengan Pulau Um ini berperan besar menyumbang keindahan alam bawah laut Pulau Um. Masyarakat yang hidup di sekitar Pulau Um dan Kampung Malaumkarta hidup sebagai nelayan dan memiliki kesadaran untuk menjaga hasil laut. Dengan adanya larangan untuk menangkap ikan dengan jala dan bom, nelayan hanya mendapatkan ikan dengan cara memancing.

Pulau ini sering digunakan oleh nelayan sebagai tempat singgah saat mereka mencari ikan. Jika sedang beruntung bertemu nelayan yang singgah, Anda bisa mencicipi kenikmatan ikan segar bakar yang fresh from the ocean. Biasanya nelayan di sini bersedia menjual sebagian hasil tangkapan mereka. Seekor ikan tengiri atau bubara atau ikan merah khas pulau um bisa anda tebus dengan harga relatif murah.

Di Pulau Um ini, Anda juga akan mendapati ribuan kelelawar yang menjadikan pulau ini sebagai habitatnya. Kawanan kelelawar ini hidup bergantungan di atas pohon. Tangkap kesempatan selagi bisa menikmati kelelawar yang terbang berkelompok dan hinggap dari satu pohon ke pohon lain.


Bisa jadi, Anda akan merasa menjadi penemu Pulau Um. Pasalnya, pantai ini tak riuh seperti pantai-pantai lain yang sarat dengan gelak tawa para penikmatnya. Sebaliknya, pantai ini sangat tenang; lagi pula belum banyak yang mengetahui harta karun keindahan di pulau ini.

Lantas, bagaimana untuk mendapatkan kemewahan di surga Nemoi ini?

Nah, begini caranya. Untuk mencapai Pulau Um, Anda harus menuju Makbon melalui jalur darat. Dari Kota Sorong, tersedia angkutan umum menuju Makbon dengan tarif Rp 15.000 one way. Perjalanan sejauh 40 kilometer tersebut akan ditempuh dalam waktu sekitar 2 hingga 3 jam.Tiba di Makbon, Anda masih harus melanjutkan perjalanan menuju Pulau Um dengan menggunakan longboat sewaan; maklum, belum tersedia transportasi umum menuju ke sana. Untuk menyewa longboat ini, Anda harus merogoh kocek sebesar Rp 300.000 untuk berkendara selama 30 menit hingga tiba di Pulau Um.

tempat wisata di kota sorong

Sorong merupakan ibukota dari kabupaten dengan nama yang sama yang terletak di bagian hidung wilayah kepala burung Pulau Papua. Di sebelah Selatan berbatasan langsung dengan Kabupaten Sorong Selatan dan di sebelah Timur berbatas dengan Kabupaten Manokwari sedangkan sisanya adalah lautan luas yang alami.



Selain sebagai pusat pemerintah daerah, Sorong juga, menjadi pusat pengolahan minyak dan kayu di wilayah ini. Wilayah di sekitar Sorong memiliki beberapa lokasi wisata yang menarik seperti pantai dan beberapa pulau kecil di lepas pantai.

Pantai Casuari adalah pantai yang bagus untuk berenang atau snorkeling yang terletak tidak jauh dari Sorong. Lokasi pantai dapat dicapai dengan angkutan umum dari terminal Sorong.


Pulau Jefman dapat dicapai dari Sorong dengan menumpang kapat motor atau feri. Pulau ini memiliki pantai yang bagus serta jalur trekking yang menarik. Pulau-pulau lainnya yang dapat dikunjungi dari Sorong adalah Pulau Doom Pulau Batanta, Pulau Matan dan Pulau Kafiau. Pulau-pulau ini memiliki panai yang indah dan lokasi untuk berenang dan menyelam yang menyenangkan.

Semenanjung Kasuari, sebuah pantai yang panjang dan bersih menyimpan beragam karang yang eksotik. Bagi pecinta wisata selam, Anda dapat menemukan pantai ini sekitar 3 km dari Sorong dengan berkendara melalui darat.

Pulau Buaya, sebuah pulau dengan lekungan pantai pasir kuning yang landai, lembut dan berair jernih sangat sesuai untuk berenang dan memancing. Terletak setengah km dari kota Sorong dan dapat dicapai dengan speed boat.

Pulau Kafiau, sangat kaya akan keindahan satwa dan flora lautnya, menjadikan pulau Kafiau yang terletak di tengah Selat Dampir Waigeo ini sangat menarik untuk pecinta wisata alam. Hanya 1,5 jam dari kota Sorong dengan motor boat.

Pulau Matan, berbagai jenis pohon, pasir putih yang lembut dan air jernih adalah keistimewaan dari Pulau Matan yang sangat asyik untuk berjemur dan memancing. Dapat dicapai dari Kota Sorong dengan speed boat sekirar 20 menit.

Mata Air Panas Klaijili, mata air panas alami yang bermanfaat untuk mengobati penyakit kulit ini terletak di wilayah Makbon, 60 km dari kota Sorong, dan dapat dicapai dengan kendaraan darat.

catatan akhir pekan

Salah satu tujuan wisata yang bisa dibilang tidak jauh dari Kota Sorong adalah Pulau Um di Distrik Makbon, sekitar 2 jam dari kota Sorong. Pulau Um juga dikenal sebagai pulau kelelawar karena merupakan habitat ribuan kelelawar. Tidak ingin kehilangan kesempatan menyambangi pulau yang menarik ini, tanggal 21 Oktober 2010 siang kami menuju lokasi.
Untuk mencapai pulau tersebut, dari Kampung Makbon kami menyewa perahu milik Pak Wena Paa. Kira-kira membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai di Pulau Um. Dari kejauhan tampak suatu pulau mungil dengan pepohonan hijau di tengahnya, sementara sekelilingnya pasir teramat putih. Dengan tidak sabar kami bergegas menaiki perahu motornya, sampan panjang dari kayu dengan mesin 15 PK yang biasa disebut long boat atau johnson.
Pak Wena dan mayoritas warga di Kampung Makbon berasal dari suku Moi, suku asli Sorong, dan sehari-hari bekerja sebagai nelayan atau berkebun tergantung pada musim. Hasil berkebun antara lain adalah durian, rambutan, langsat (seperti duku), dan cokelat. Sayang sekali sedang tidak musim durian padahal saya sudah meneteskan air liur begitu membayangkan kebun durian.
Mengagumi perairan bening di bawah saya, tiba-tiba Pak Wena menarik-narik sesuatu dari atas kapal. "Dapat ikan bobara", kata Pak Wena tersenyum sederhana seraya menarik benang pancing kemudian menunjukkan ikannya ke saya untuk difoto. Ternyata selagi mengarahkan perahu yang kami tumpangi, Pak Wena sekalian melemparkan benang pancing dan dengan mudahnya dalam beberapa menit seekor ikan langsung tertangkap.
Sambil melanjutkan mengarahkan perahu, Pak Wena berkata, "untuk dibawa ke Sorong", sambil tertawa sumringah. Maksudnya adalah bahwa ikan tersebut untuk kami. Saya langsung merasa kaget bercampur senang bercampur tersentuh. Baru beberapa belas menit kami bertemu dan belum sempat banyak mengobrol, tapi Bapak ceria ini dengan ikhlasnya memberikan hasil tangkapan ke orang yang baru dikenal.
Tidak lama kemudian kami mendarat di Pulau Um. Sementara saya sibuk mengagumi kecantikan pulau ini dari dekat, Pak Wena dengan semangat langsung mencari kayu yang tidak terpakai dan membuat api di antara pasir. Ikan segar yang tadi tertangkap dalam sekejap menjadi ikan bakar yang siap disantap. Pak Wena menyajikannya di atas daun keladi yang hijau segar dan meletakannya di atas pasir putih.
Sambil menikmati suasana tenang dan teduh beralaskan pasir putih yang halus, kami mengobrol santai ditemani juga oleh dua orang dari kampung seberang. Suasana kekeluargaan membuat waktu terlalu cepat berlalu hingga tak terasa sudah saatnya harus kembali ke daratan.
"Dari dulu Suku Moi memang dikenal dengan keramahannya", ujar pendamping kami menjelaskan. Tidak salah, pikir saya. Hanya butuh waktu sekejap untuk merasakan aura keramahan yang timbul dari seringai tulus dan sikap bersahabat Pak Wena serta orang-orang yang menemani kami mengobrol tadi. Pantas saja Pulau Um terasa damai bagi saya.
Sayangnya kami hanya sempat bertemu sebentar saja, namun terima kasih Pak Wena telah membuat saya mengalami sendiri keramahan dari Suku Moi. Momen seperti inilah yang selalu paling berkesan bagi saya saat traveling di Indonesia. Memiliki kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang seperti Pak Wena. Dan dengan bangga bisa mengatakan, "Ya, inilah Indonesiaku dengan keramahan asli penduduknya".

Profil Geografis dan Topografi suku-suku yang ada di Papua ...


Pulau Papua yang luasnya kurang lebih 3,5 kali pulau Jawa secara ekologis itu terdiri atas empat zona yang masing-masing menunjukkan diversifikasi terhadap system mata pencaharian mereka berdasarkan kebudayaan dan sebaran suku bangsa-suku bangsanya. Menurut Malcoln dan Mansoben(1987; 1990), kelompok etnik yang beraneka ragam di Papua tersebar pada empat zona ekologi yaitu: (1) Zona Ekologi Rawa atau Swampy Areas, Daerah Pantai dan Muara Sungai atau Coastal & Riverine, (2) Zona Ekolo gi Daerah Pantai atau Coastal Lowland Areas, (3) Zona Ekologi Kaki-Kaki Gunung serta Lembah-Lembah Kecil atau Foothills and Small Valleys, dan (4) Zona Ekologi Pegunungan Tinggi atau Highlands. Orang-orang Papua yang hidup pada mitakat atau zona ekologi yang berbeda-beda ini mewujudkan pola-pola kehidupan yang bervariasi sampai kepada berbeda satu sama lainnya. Penduduk yang hidup di wilayah zona ekologi rawa, daerah pantai dan muara sungai sebagaimana terdapat di:

1. Jayapura ( teluk Humboldt: Skou, Yotefa, Imbi; Tanah Merah: Ormu, Tabla, Demta; Pantai Utara: Bonggo, Podena, Yarsum, Betaf; Tor: Mander, Berik, Kwersupen; Sarmi:Kwerba, Isirawa, Sobei, Samarokena, Masep; Mamberamo:Warembori, Pauwe, Warewek, Bauzi, Nopuk; Sentani: Sentani, Dosai, Maribu), Kelompok suku bangsa-suku bangsa ini semuanya mempunyai mata pencaharian utama sebagai peramu sagu dan sebagai pendamping kebun kecil, menangkap ikan (sungai dan laut).

2. Yapen Waropen (Mamberamo Barat: Karema, Nita; Waropen: Sauri, Waropen, Kofei, Tefaro, Siromi, Baropasi, Bonefa; kelompok suku bangsa ini semua mempunyai mata pencaharian sebagai peramu sagu, kebun kecil, menangkap ikan di sungai dan laut. Krudu: Krudu; Yapen: Woriasi, Ambai, Serui Laut, Yawe, Busami, Ansus, Pom, Woi, Munggui, Marau, Pupui; kelompok suku bangsa-suku bangsa ini mempunyai mata pencaharian utama sebagai peramu sagu, ditambah dengan kebun kecil, menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping.

3. Biak Numfor; dengan mata pencaharian sebagai peramu sagu, ladang berpindah dan menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.

4. Paniai; Nabire: Windesi, Mor, Yaur, Mer, Yeretuar, kelompok ini bermata pencaharian utama ladang berpindah dengan pendamping meramu sagu, menangkap ikan di sungai dan laut.

5. Manokwari; Wandamen: Roon, Mioswar, Rumberpon, Wandamen; Arfak: Mantion, Hatam, Borai; Amberbaken, kelompok ini bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah, dan pendamping menangkap ikan di sungai dan laut. Sedangkan Bintuni: Tanah Merah, Babo, Arandai, Kemberano, Meninggo, Kaburi, kelompok ini bermata pencaharian utama meramu sagu, ladang berpindah, menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.

6. Sorong: Karon bermata pencaharian utama ladang berpindah, menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping; Moi: bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah, meramu sagu dan menangkap ikan di sungai sebagai pendamping. Raja Ampat: Kawe, bermata pencaharian utama meramu sagu dan menangkap ikan di laut dan sungai serta kebun kecil sebagai pendamping. Sedangkan orang Maya, Beser/Biak, Matbat bermata pencaharian utama meramu sagu, ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping. Seget; Teminabuan: Kalabra, Tehit, Kon, Yahadian, Kais; Inanwatan: Suabau, Puragi, Kokoda, kelompok ini bermata pencaharian utama meramu sagu, kebun kecil serta menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping.

7. Fakfak: Onin, Iha, Karas, Baham, Buruwai; Kaimana: Mairasi, Semini, Koiwai bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah, meramu sagu, menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping; Arguni: Kamberau, Irarutu, Mairasi bermata pencaharian utama meramu sagu, berkebun kecil serta menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping. Mimika: Kamoro bermata pencaharian utama, meramu sagu, berkebun kecil, menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.

8. Merauke; Asmat, Awyu, Yagai Citak bermata pencaharian utama meramu sagu dan berkebun kecil serta menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping. Kimaam: Riantana, Kimaghama, Koneraw; Marind-anim: Yab-anim, Maklew-anim, Kanum-anim, Bian-anim bermata pencaharian utama meramu sagu dan kebun kecil, serta menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping.

Adapun wilayah yang masuk dalam zona kaki gunung dan lembah-lembah kecil di (1) Jayapura, Nimboran: Genyem, Nimboran, Kemtuk Gresi; Arso; Waris,; Foya dan Uta bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di sungai dan berburu sebagai pendamping. (2) Paniai dengan suku bangsa Timorini: Dou, Kiri-kiri, Turu, Taori-Kei Fayu bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di sungai dan berburu sebagai pendamping. (3) Manokwari dengan suku bangsanya Arfak: Hatam, Meyah, Mantion/Sough; Amberbaken bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di sungai dan berburu serta beternak babi sebagai pendamping. (4) Sorong dengan suku bangsa Karon, Madik, Maibrat, Moraid bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta ternak babi, menangkap ikan di sungai dan berburu sebagai pendamping. (5) Fakfak dengan suku bangsa Fakfak: Baham, Irarutu, Amungme, bermata pencaharian utama berladang berpindah, beternak babi dan menangkap ikan di sungai serta berburu sebagai pendamping. (6) Merauke dengan suku bangsa Muyu, Mandobo bermata pencaharian utama berladang berpindah, beternak babi dan berburu serta menangkap ikan di sungai sebagai pendamping. Adapun wilayah yang penduduknya berada pada zona daerah pantai umumnya bermata pencaharian utama meramu sagu dan menangkap ikan di laut serta berkebun kecil dan berburu sebagai pendamping. Disamping itu pula ada upaya lain berupa berdagang.

geografis kota sorong dan sejarah suku moi


A. Ne Moi Maladum
 
Secara umum daerah Kepala Burung terbagi menjadi dua wilayah utama yaitu, wilayah kepulauan, yang disebut Kepulauan Raja Ampat dan pulau-pulau kecil lainnya di pesisir Selatan dan Utara, serta wilayah daratan atau tanah besar. Wilayah daratan terdiri dari daratan rendah, perbukitan, lereng, pengunungan dan puncak gunung. Di bagian utara terdapat sebuah gunung yang tingginya 3000 m2 di atas permukaan laut, yaitu puncak Tambrau, sementara di bagian selatan umumnya didominasi daerah datar dan berawa (hutan bakau). Jenis tanahnya pun bervariasi, mulai dari organosol, aluvial, lotosal, podsolik merah kuning dan podsolik coklat kelabu. Sorong Daratan adalah salah satu wilayah di Tanah besar ini.
Sorong Daratan memiliki luas wilayah kurang lebih 123.381 km2, terbagi dalam 3 wilayah administratif, yaitu Kabupaten Sorong (170.084,50 km2), Kabupaten Sorong Selatan, dan Kotamadya Sorong. Wilayah di ujung barat Papua ini kaya akan sumber daya alam, 87% dari luas daratannya berupa hutan yang tersebar merata di 17 kecamatan. Hasil hutan memberikan banyak pemasukan bagi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), misalnya pada tahun 2000 mencapai Rp 116,7 milyar. Namun penjarahan hutan dalam kurun waktu setengah tahun terakhir telah meraibkan harta senilai Rp 265 milyar, setara dengan 140 persen Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten Sorong tahun 2001.
Kandungan tambang yang ada di perut bumi Sorong didominasi oleh minyak bumi, dan kekayaan ini telah mengundang beberapa perusahaan tambang untuk melakukan eksploitasi. Di antara perusahaan-perusahaan itu tercatat yang terbesar adalah Pertamina dan Petrocina (PMA dari Cina). Eksploitasi tambang di Sorong pada tahun 2000 menyumbang 34,93 persen dari total kegiatan ekonomi di daerah ini yang mencapai Rp 1,06 trilyun. Topografi wilayah Kabupaten Sorong yang sebagian besar berupa
perbukitan tandus di bagian utara dan rawa-rawa di sisi selatan menjadi persoalan tersendiri bagi pengembangan pertanian, terutama tanaman pangan. Pertanian memang menjadi penyumbang terbesar, namun bukan dari tanaman pangan, melainkan dari perikanan dan kehutanan. Karena itu beras sebagai makanan pokok yang diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia, harus didatangkan dari Depot Logistik (Dolog) di Makasar. Ketergantungan terhadap wilayah lain ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat tidak menanam padi, mereka lebih banyak mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok sehari-hari.
Di Sorong terdapat fasilitas 2 lapangan terbang, Jeffman dan Osok yang didarati oleh 3 penerbangan komersial nasional. Bandara Osok dibangun dengan dana pinjaman bank dunia sebesar 36 juta dollar AS pada tahun 2002. Diproyeksikan bandara ini akan menjadi bandar udara terlengkap dan terbesar di Papua, serta diharapkan mampu menunjang Sorong Daratan sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi terpadu di Papua. Selain itu terdapat juga satu buah pelabuhan laut yang disandari 9 kapal penumpang besar.
LEGENDA MALADOFOK DAN TAMRAU

Masyarakat Moi percaya bahwa dasar sejarah orang Moi terletak di daerah gunung Tamrau mereka menyebut “kepala di sini (gunung Tamrau), ekor di sana (perbatasan PNG)”. Di kaki gunung ini tinggal terdapat beberapa marga seperti yenjau, yekwan, yesyan, yewen, yembra, yeblo dll yang mayoritas beragama kristen. Di samping itu di daerah puncak Tamrau terdapat dua marga yang sangat khusus, yaitu yesus dan yeudi. 2 marga sangat tertutup dan dipercaya masing-masing memiliki anggota tidak pernah lebih dari 30 orang. Orang-orang faam yesus memiliki ekor di bagian pantatnya sepanjang jari telunjuk orang dewasa. Faam Yesus hingga kini tidak bisa bertemu dengan orang luar maupun melihat benda-benda asing seperti rumah, mobill, baju dan benda lain yang tidak pernah mereka temui sebelumnya. Jika salah seorang faam yesus bertemu orang asing, orang asing itu bisa meninggal dunia. Pada tahun 1998 mereka pernah pergi ke pantai dan banyak orang yang sempat bertemu dengan mereka kemudian meninggal dunia dalam waktu beberapa hari saja. Hanya orang dari Karon (salah satu sub suku Moi yang tinggal di kaki gunung Tamrau) yang bisa bertemu dan bergaul dekat dengan faam ini. Sedangkan faam Yahudi telah mulai terbuka, bahkan salah satu anak dari faam ini bersekolah di perguruan tinggi di Sorong.
Tamrau dan Maladofok dua tempat keramat suku moi dipercaya mengandung kekuatan magis yang tidak bisa ditembus oleh sembarang orang, selain yang memiliki kemampuan dan kekuatan khusus. Di kedua tempat ini terdapat sejumlah benda keramat berbentuk belanga, kapak, bebatuan, dll. Karena dipercaya sebagai tempat keramat dan pusat peradaban suku Moi pertama kali dalam legenda peradaban suku-suku di papua, dengan demikian maka tempat-tempat ini dijaga dan dihormati oleh orang-orang Moi hingga kini. Jika ada pihak luar yang mencoba mengganggu maka orang-orang Moi akan marah dan melakukan tindakan untuk mengusir pihak luar tersebut.
Seorang Camat bermarga Kocu dari Ayamaru pernah mendaki Tamrau untuk menemui faam Yesus, namun masyarakat marah dan memintanya membayar denda adat. Seorang penginjil pernah mencoba berkeliling di wilayah pegunungan Tamrau untuk menemui 2 faam yang dianggap tidak beragama ini, namun pada akhirnya sang pastur meninggal dunia tanpa diketahui sebabnya. LSM Internasional WWF, yang melaksanakan program konservasi penyu belimbing di wilayah gunung Tamrau sempat menghadapi masalah serius, ketika masyarakat menganggap WWF telah melanggar tempat keramat, lalu mereka mengusir relawan-relawan WWF dengan panah dan tombak. Masyarakat menyatakan “Kami hormati semua kekayaan alam kami, termasuk penyu belimbing. Kalau ada orang luar yang mau bantu, bicara baik-baik dulu dengan kami”.

B. MALAMOI: TANAH PUSAKA ORANG MOI


Malamoi berasal dari dua suku kata: MALA yang berarti gunung atau dataran luas, dan MOI yang berarti halus, lembut. Kata ini lahir pada saat orang Moi mulai bicara tentang adat. Menurut sejarah yang diceritakan oleh para orang tua adat, peradaban orang Moi berawal dari dua kekuatan: yaitu Tamrau dan Maladofok. Myte orang Moi menyebut Maladofok sebagai kekuatan Perempuan dan Tamrau sebagai kekuatan laki-laki. Teges Malamoi adalah wilayah dimana orang-orang Moi pertama tinggal, kemudian berkembang dan mulai melakukan migrasi ke Manokwari, Teminabuan, Ayamaru, dan Kepulauan Raja Ampat.
Orang Moi percaya bahwa nenek moyangnya keluar dari Gunung Maladofok, dan dunia ini dimulai dari gunung itu. Syah dan, hampir semua suku di wilayah Kepala Burung berasal dari satu nenek moyang Kelinplasa (disebut sebagai menara Babel) di daerah Maladofok. Mereka kemudian terpencar karena menara babel yang sedang dibangun roboh oleh air bah dan semua orang naik untuk mencari perlindungan . “Waktu itu Tuhan Allah menghukum dengan bahasa yang lain” demikian menurut seorang tua adat suku moi. Orang-orang yang hanyut ke tempat lain kemudian hidup terpisah-pisah dan sekarang menjadi suku-suku baru: suku Ayamaru dengan marga-marga Salossa, Kambuaya, Sevaniwi, Bless, Sraun, Duwith, Bleskadith; suku Knasaimos di Teminabuan dengan marga-marga Karsau, Sesa, Kehek, Snanfi, Thesia, Bleskadith, Kondologit, Konjol, Kamesok, Salambau, Momot. Demikianlah, dalam sejarah orang Moi tidak terpisah dengan orang Ayamaru, dan Teminabuan (Sorong Selatan) maupun sub suku moi Maya di Raja Ampat.
Sedangkan yang tetap tinggal di tanah asal kemudian menjadi satu suku besar Moi, yang kemudian terbagi dalam 10 sub suku, dan lebih dari 100 marga, dengan sejarah tanah, sistem pembagian wilayah, dan bahasa yang satu. Dalam perkembangannya 10 sub suku ini masing-masing berdiri sendiri dan menganggap mereka adalah suku tersendiri dan tidak ada hubungan sejarah apapun dengan sub suku yang lain.

NO SUB SUKU MARGA
1 Moi Kalasa 1. Bisulu
2. Do
3. Gifelem
4. Lagu
5. Malawok 6. Malak
7. Malasumuk
8. Mulu
9. Pa
10. Salamala 11. Sani
12. Sawisa
13. Siwele
14. Ulim kalapoto
15. Ulimpa
2 Moi Kalagedi 1. Kadakolo
2. Kalami
3. Kalasuat
4. Kalawin 5. Magablo
6. Mainolo
7. Mobalen
8. Mobilala 9. Ulim
10. Wali
11. Idik
3 Moi Malamsimsa 1. Bewela
2. Sani 3. Kalagison
4. Malabalus 5. Malasalim
6. Kawamtu
4 Moi Amber 1. Kalaibin
2. Kalaluk
3. Kalawi 4. Malaseme
5. Malibela 6. Mili
7. Osok
5 Moi Malayik 1. Bisi
2. Kalawaisa
3. Kalawen
4. Komala 5. Semugu
6. Aksili
7. Malagili 8. Maga
9. Malagam
10. Mamerni
6 Moi Seget 1. Fedan
2. Felis
3. Fes
4. Funus 5. Gisim
6. Trik
7. Kalawom
8. Kami 9. Malakubu
10. Malalu
11. Sawak
12. Simi
7 Moi Kelim 1. Fami
2. Gilik
3. Kalalu
4. Kalasibin 5. Kalamali
6. Kilala
7. Komigi
8. Kwaktolo 
9. Samolo
10. Su11. U
8 Moi Walala 1. Asrima
2. Balinsa
3. Dan
4. Galus
5. Keling
6. Ligik
7. Madewe
8. Malagifik 9. Mala salim
10. Malawanutu
11. Minggin subu
12. Minggin tuak
13. Metla
14. Sekamuk
15. Sipolo 16. Tuwen
17. Ulala
18. Ulimene
19. Urini
20. Yempolo
21. Supukala
22. Patele
9 Moi Abun
1. Suwalik
2. Mialim 
3. Faam(yekwam)
4. Tiplu (yeblo) 
5. Kibiy
10 Moi Malaibin (dalam)
1. Saden
2. Satenes
3. Kalagilila
4. Meder
5. Kampak
6. Kalafuyu
7. Kutumlas
Sekarang ini yang orang tahu wilayah Moi hanya melingkupi Sorong Kota, Makbon, Klamono, Malaumkarta, Asbaken, Della, Mega dan pegunungan belakang. Padahal dulu dipercaya bahwa seluruh daerah kepala burung adalah wilayah adat suku Moi.

C. SISTEM ADAT

Ada banyak rahasia adat yang tidak boleh diketahui orang luar, bahkan oleh orang Moi yang dianggap tidak pantas mengetahuinya. Mereka menyebut rahasia adat dan tempat-tempat keramat itu sebagai “hal-hal yang tidak boleh diketahui perempuan”. Karena itu, kelompok masyarakat suku Moi dibagi dalam 4 struktur yang telah ada sejak jaman batu, yaitu:
1. Tokoh-tokoh adat, yang terdiri dari para Nedla meliputi; neliging (orang yang berbahasa baik), nefulus (orang sejarah), ne kook (orang kaya), nefoos (orang suci). Serta pejabat-pejabat adat: usmas, tukang, finise (pimpinan pelaksana rumah adat, terdiri dari marga ulimpa, sapisa, dan do), tulukma, untlan (guru yang mengajar di kambik), dan kmaben. Kelompok ini yang berhak mendapatkan pangkat sebagai kepala suku dan panglima perang yang berwenang melakukan sidang-sidang dan acara adat.
2. Alumni Pendidikan Adat (Wiliwi), adalah kelompok dalam struktur adat yang terdiri dari anak laki-laki yang telah mengikuti pendidikan adat di Kambik dan telah diwisuda secara adat. Kelompok ini dibina untuk menjadi pemimpin seperti kelompok pertama, mereka akan diajarkan tentang filosofi kepemimpinan dan seluk beluk adat-istiadat suku Moi secara lengkap.
3. Kelompok laki-laki (nedla) yang dikategorikan sebagai nelagi (perempuan), kelompok ini terdiri dari anak laki-laki, pemuda, dan laki-laki dewasa yang belum pernah mengikuti pendidikan adat di Kambik, sehingga dalam struktur adat Moi dikategorikan sebagai Nelagi
4. Kelompok Nelagi murni, adalah kelompok yang terdiri dari para perempuan Moi, kelompok ini juga memiliki pemimpin dan tokoh, sebab mereka juga mengetahui fulus (ilmu-ilmu yang dapat dikuasai perempuan). Perempuan juga memiliki tugas dalam acara adat.
Dalam 4 struktur adat di atas, suku Moi percaya bahwa mereka telah menemukan banyak hal yang telah dipakai dunia baru sekarang ini dan mereka tidak merasa kaget dengan perkembangan yang ada. Dalam rumah adat inilah segala hal yang menyangkut suku Moi diatur seperti :
1. Sistem perkawinan
2. Sistem pembagian harta
3. Sistem adat dalam mengatur perempuan Moi
4. Sistem adat dalam hak ulayat tanah
5. Sistem pembayaran adat bagi yang meninggal
6. Sistem pendidikan
7. Sistem bercocok tanam
8. Sistem pengobatan
9. Sistem Marga dengan daerah-daerah keramat
10. dsb.

1. Sistem Perkawinan

Suku moi pada jaman dulu tidak mengenal kata pacaran, segala sesuatu yang menyangkut perjodohan diatur oleh orang tua. Perempuan hanya tinggal di rumah menunggu kedatangan orang tua pihak laki-laki yang akan datang memintanya dari orang tuanya. Namun sebelumnya ada beberapa syarat bagi keduanya; perempuan harus mampu: menokok sagu, berkebun, mengetahui berbagai ramuan obat, membuat iviok (tempat remas sagu), membuat noken, memasak papeda, dan membuat sagu. Sedangkan laki-laki harus mampu: membuat rumah, berkebun, membuat perahu, berburu, dan berharta.
Jika kedua pihak memenuhi syarat-syarat di atas, maka kedua orang tua akan mengikat dengan tanda penyerahan mas kawin (sebelum mengenal kain, mereka memakai mas kawin botol-botol kuno buatan jaman dulu). Sejak masuknya VOC suku Moi mulai mengenal kain dan piring karena saat itu terjadi pertukaran barang atau barter secara besar-besaran dalam perdagangan. Sehingga saat itu orang Moi sudah memakai kain teba dan kain dari putri air namanya agmai yang khusus dibuat dari kulit kayu dan dimiliki oleh orang-orang tertentu. Namun kini kain-kain itu hampir tidak ada lagi karena pemiliknya telah meninggal dunia. Di samping kain dan piring mas kawin yang diberikan juga berupa uang.
Setelah ada kesepakatan bersama maka ditentukan waktu tertentu untuk membayarkan harta. Di sini kedua muda-mudi yang akan dikawinkan belum saling mengenal. Mereka akan saling kenal pada saat ”guling rokok sebagai tanda mas kawin laki-laki yang ada di bilik kudus (ruang khusus tempat taruh barang) akan dilihat oleh orang tua pihak perempuan. Jikalau lengkap sesuai dengan apa yang diminta, barulah si laki-laki dan perempuan bisa dipertemukan”. Sebelum mas kawin dibayarkan mereka belum bisa saling ketemu, karena pada jaman dulu laki-laki tidak bisa sembarang melihat perempuan. Sengaja mengintip perempuan dari jendela saja, laki-laki bisa didenda. Denda juga diterapkan untuk orang yang menyebut nama kemaluan. Jika seorang perempuan berjalan maka laki-laki harus di belakang, tidak boleh mendahului. Adat-istiadat itu dipegang teguh, bahkan bunuh bisa menjadi hukuman bagi yang melanggarnya.
Tetapi kini semua aturan dan istiadat itu telah terurai sedikit demi sedikit, tak ada sangsi apapun bagi pelanggarnya.
2. Sistem Pembagian Harta/warisan
Dalam struktur adat suku Moi, anak laki-laki menduduki posisi yang penting dan terutama. Hal ini karena anak laki-laki yang akan meneruskan garis keturunan/marga dari orang tuanya. Sedangkan anak perempuan akan kawin dengan marga yang lain.
Berkaitan dengan warisan, hak sepenuhnya ada pada anak laki-laki. Jika ada upacara pesta mencari ikan, upacara membuka dusun sagu, upacara membuka kebun, dan upacara yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDA di atas lahan adat marga maka saudara laki-laki harus mengundang semua saudara perempuan untuk hadir. Anak perempuan juga mempunyai hak namun tidak sebesar anak laki-laki.
3. Sistem Mengatur Perempuan Moi
Dalam kehidupan keluarga suku Moi, perempuan menduduki posisi kedua dalam keputusan akhir. Segala sesuatu ditentukan oleh suami atau nedla, misalnya keputusan untuk menebang sagu, menokok sagu, atau membuat tempat ramas sagu. Perempuan (nelagi) perannya ikut membantu aktivitas menokok sagu dan membuat tempat ramas sagu, menyiapkan makanan, melakukan pemeliharaan dan menanam di kebun. Pembuatan pagar kebun dilakukan oleh nedla, demikian juga mencari ikan dan berburu binatang. Sedangkan yang mengolah sampai siap untuk dimakan dikerjakan oleh nelagi. Namun jika memasak dalam jumlah besar, biasanya nedla akan turun membantu. Pemeliharaan dan pembinaan anak-anak dikelompokkan sebagai berikut :
Anak perempuan (myelagi)
Dari lahir sampai dipinang sebagian besar pemeliharaan anak perempuan dilakukan oleh nelagi, sedangkan pihak laki-laki melakukan hanya seperlunya saja. Keputusan untuk kawin dapat ditempuh melalui cara; keputusan mutlak dari bapa, atau keputusan mutlak dari mama; atau keputusan antara pihak bapa dan mama. Kadang-kadang anak perempuan diberi kesempatan untuk menentukan keputusan. Sedangkan pihak orang tua laki-laki hanya terlibat dalam mengurus anak perempuan jika anak perempuan sakit.
Anak laki-laki (myedla)
Dari lahir sampai menginjak usia yang dianggap layak untuk mengikuti pendidikan adat (kambik), pemeliharaan myedla lebih banyak didominasi oleh perempuan (nelagi), namun sejak mengikuti pendidikan adat di Kambik sampai berkeluarga anak lelaki lebih banyak dibina oleh nedla.
Perkembangan jaman saat ini telah merubah cara dan pola keluarga untuk mendidik anak. Kini kedua orang tua mempunyai tanggung-jawab yang sama untuk mengurus, mengasuh, dan membina anak-anaknya.
4. Sistem Pendidikan
Orang Moi percaya bahwa segala apa yang ada sekarang, misalnya bahan peledak, obat-obatan, merekayasa hujan, menyembuhkan orang sakit, membunuh orang dengan kekuatan magis secara massal, sampai menghilangkan diri dan menghilangkan orang lain, telah ada dan sudah dibuat oleh masyarakat suku Moi sejak dulu. Mereka mengajarkan secara turun temurun semua unsur di atas dalam sekolah adat bernama Kambik. Masa pendidikan bervariasi, menurut jenis ilmu yang dipelajari, mulai dari 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan, 12, 16, dan 24 bulan. Pendidikan adat ini dilakukan di rumah adat, bersifat tertutup dan rahasia, dan hanya boleh diikuti oleh Nedla (laki-laki). Perempuan tidak diperbolehkan ikut karena dikawatirkan jika perempuan ikut serta, maka kelak jika ia menikah ia akan menceritakan tentang rahasia Kambik kepada suami atau orang luar lainnya. Orang Moi percaya bahwa Nedla benar-benar menjadi laki-laki apabila telah mengikuti sekolah adat Kambik, karena dalam Kambik semua kekuatan Moi akan diturunkan oleh para guru adat. Setiap Nedla yang tidak mengikuti pendidikan maka dalam struktur adat-istiadat ia disebut sebagai “masih perempuan atau masih telanjang”. Biarpun seseorang pintar tapi jika belum melewati struktur sekolah adat ini maka ia disebut masih bodoh atau telanjang atau perempuan.
Rumah adat tempat pendidikan berlangsung, dulu dbangun di wilayah Tamrau. Pada masa sebelum tahun 60-an, sekolah ini dipakai sebagai motor pergerakan Papua merdeka, dan fungsi ini membuat Kambik diminati banyak orang dan memiliki banyak murid. Memasuki tahun 60-an Kambik dianggap sebagai kelompok/organisasi yang menentang pemerintah sehingga dilarang penyelenggaraannya. Jika diketahui ada Kambik dibuka, maka segera pemerintah memerintahkan militer untuk membongkar sekolah adat tersebut. Pada masa setelah 70-an Kambik tidak diselenggarakan lagi, dan rakyat Moi, terutama para pejabat adat, memiliki obsesi sekolah ini akan dibuka lagi jika Papua merdeka. Saat ini hanya tinggal alumni-alumni kambik yang masih tersisa yang di kampung dan diangkat sebagai tokoh adat yang dihormati dan ditakuti karena memiliki kekuatan gaib.
Selain pendidikan adat, masyarakat Moi juga menempatkan pendidikan formal sebagai hal penting. Pada jaman dahulu, anak perempuan tidak diijinkan pergi ke sekolah karena dianggap hanya membuat rugi keluarga. Kelak jika dewasa anak perempuan akan dikawinkan dan menjadi milik keluarga pihak laki-laki. Anak perempuan dalam keluarga Moi bisa dianggap sebagai harta karena kelak jika menikah, orang tuanya akan menerima pembayaran harta dari pihak keluarga pengantin laki-laki. Namun sekarang anak perempuan mulai diijinkan untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi sejajar dengan laki-laki. Kini banyak perempuan Moi yang menjadi sarjana, pendeta, pegawai negeri, guru, dan posisi-posisi publik lainnya.
5. Sistem adat dalam hak ulayat tanah
Suku Moi percaya bahwa tanah adalah Perempuan. Berbicara tanah berarti berbicara tentang perempuan. Menurut orang moi tanah sama dengan ibu sehingga menjual tanah sama artinya dengan menjual ibu mereka. Tanah dianggap sebagai sumber kehidupan, bagai ibu yang menyusui anaknya. Seiring dengan perkembangan jaman falsafah itu kini mulai luntur pada diri orang Moi. Jual beli tanah semakin banyak terjadi, meski demikian jual beli tanah bukanlah hal yang mudah. Sistem adat mengharuskan orang Moi yang ingin menjual tanah harus memanggil muwe (saudara-saudara perempuan) jika tidak ingin terkena kutukan. Sebaliknya, jika seorang perempuan ingin menjual tanah warisannya maka ia harus memanggil para saudara lelaki, jika tidak ingin dimasuki roh. Artinya, dalam setiap pengambilan keputusan masing-masing orang terikat oleh tali kekerabatan yang tidak bisa dilanggar begitu saja.
Identitas orang Moi adalah tanah. Jika kami tidak memiliki tanah di wilayah adat kami, maka tidak bisa disebut lagi sebagai orang Moi
**Silas Kalami, pemuda suku Moi dari kampung Malaumkarta
Dalam suku Moi hak ulayat atas tanah adat itu telah diatur dalam lembaga adat mereka sejak zaman dulu. Hukum adat ini dipakai untuk membagi wilayah tanah adat kepada marga-marga yang ada di suku Moi. Batas-batas wilayah kepemilikan tanah marga ditandai dengan berbagai benda alam, semacam pohon kayu, sungai, batu, gunung, dan sebagainya. Seluruh marga yang ada di suku moi telah mengetahui batas tanah mreka, sehingga mereka tidak bisa sembarangan masuk ke dusun atau tanah marga lain. Setiap marga biasanya memiliki wilayah atau benda keramat masing-masing yang menjadi tanda tak terbantahkan atas kepemilikan tanah tersebut. Di antara beberapa marga yang ada, ada marga yang memiliki tanah besar (luas atau di beberapa wilayah), biasanya mereka ini adalah keturunan anak raja atau kepala suku pada masa lampau. Marga-marga yang memiliki tanah luas ini secara otomatis akan menempati kelas yang penting, berpengaruh, dan dihormati dalam lembaga adat (mereka disebut sebagai orang kaya).
Batas-batas tanah milik marga-marga dalam suku Moi yang kini telah berubah fungsi dan berkembang menjadi kota serta tidak jelas lagi status kepemilikannya, adalah:
• Dari kawasan Tanjung Kasuari, Pulau Buaya, Pulau Sop, Pulau Duum, Kampung Salak, Kampung Baru sampai dengan pelabuhan adalah tanah adat milik marga Bewela
• Dari Klademak , HBM, dan Remu pantai sampai ke gunung Malanu adalah tanah adat milik marga Kalami, Kwaktolo, dan Ulim Klagison
• Dari Kampung Baru sampai Malanu adalah tanah adat milik marga Osok dan Malasinsa
• Dari kilo 9, sekitar PLTD sampai dengan sungai Kalagison adalah tanah adat marga Klagison dan Mubalus.
• Daerah Aimas adalah milik marga Malaseme Klabilim, Malaseme Klaum, Malibela Ginala, Osok Klasaman, dan Osok Klabilim
5.1. Penyelesaian konflik tanah antar suku dan marga
Hukum adat Suku Moi yang paling keras adalah soal batas wilayah tanah adat. Jika ada pelanggaran batas wilayah bisa terjadi perang suku. Demikian juga antar marga, konflik besar bisa terjadi jika marga yang satu melakukan klaim terhadap tanah milik marga lain. Konflik antar marga biasanya diselesaikan dengan cara mengundang para orang tua adat yang paham tentang hukum adat dan sejarah tanah. Struktur kekerabatan dan sejarah pewarisan selalu digunakan sebagai cara untuk menelusuri siapa pemilik sah atas tanah. Namun jika para orang tua yang turun tetap tidak bisa menyelesaikan, karena masing-masing marga yang bertikai tetap mempertahankan keyakinannya, maka jalan terakhir adalah masing-masing diminta menunjukkan benda keramat sebagai bukti sah kepemilikan tanah yang tidak bisa ditawar lagi. Jalan akhir ini pada jaman dulu biasanya hanya diterapkan dalam konflik tanah antar suku, dan dilakukan untuk mencegah pertumpahan darah dan perang suku.
Contoh di bawah ini adalah gambaran bagaimana antar marga menyelesaikan konfliknya:
Sengketa tanah antara marga Kalami dan Sapisa, telah berlangsung hampir setahun lebih. Sebidang tanah di pesisir Malaumkarta yang selama dimiliki secara turun temurun oleh keluarga Sapisa, tiba-tiba diklaim oleh marga Kalami sebagai pemilik warisannya. Orang tua adat berkumpul untuk selesaikan masalah ini, karena konflik tidak bisa diselesaikan secara musyawarah oleh kedua marga. Bahkan kerabat Kalami seorang pengacara hukum telah mengajukan kasus ini ke pengadilan. Karena masing-masing tetap mempertahankan haknya maka para orang tua adat kemudian memutuskan mengambil jalan terakhir, keluarga Sapisa diminta mengeluarkan benda keramat sebagai bukti kepemilikan yang sah.
Siang itu pada tanggal 28 Agustus 1998, disepakati sebagai hari penentuan kebenaran. Keluarga Sapisa diwakili oleh Pendeta Paulus Kaflok Sapisa memimpin pengambilan sidang adat. “Saat itu kami semua terdiam dalam sunyi,” kenang seorang saksi yang ada di rumah tempat sidang adat berlangsung “benda-benda keramat itu dipikul masuk, saya lihat wajah pemuda yang memikulnya pucat pasi dan kaki gemetar. Beberapa orang yang hadir termasuk saya sampai melompat ke pintu karena tidak bisa menahan perasaan aneh saat 4 buah batu pengasah parang,puntung api yang di tinggalkan oleh pewaris tanah adat tersebut kepada keluarga SAPISA diletakkan di dalam ruangan sidang. Batu-batu itu bentuknya sederhana saja tapi telah kelihatan tua.” Beberapa saksi menyatakan, pantai Malaumkarta mendadak gelap seperti malam hari. Hujan deras turun dan kilat besar menyambar-nyambar. Air laut seperti diaduk oleh sendok besar. Hujan kemudian reda, dan saat langit terang kembali orang-orang menemukan banyak ayam peliharaan orang-orang di kampung seberang, beserta kandang-kandangnya, juga pohon-pohon yang tumbang, berserakan terapung di tengah laut. Tidak ada korban jiwa dalam badai yang berlangsung selama hampir 2 jam itu. Marga Kalami akhirnya menyerah dan mengakui kebenaran bahwa tanah itu milik marga Sapisa.
Banyak peristiwa ajaib terjadi, membuat orang Moi lebih percaya pada penyelesaian adat dari pada hukum formal. Bagi mereka pengadilan versi pemerintah dengan mudah bisa dipermainkan dan dibeli oleh pihak yang memiliki uang, namun pembuktian adat adalah keputusan alam yang tidak bisa ditawar dengan apapun.
6. Sistem Pengobatan Tradisional
Sejak jaman dulu orang Moi telah mengenal berbagai jenis pengobatan untuk menolong masyarakat yang tertimpa kesakitan. Mereka memakai tali rotan, kulit kayu, daun-daunan, abu panas, air panas, dll, sebagai sarana penyembuhan. Selain itu, orang Moi jaman dulu juga memiliki sistem pengaturan kelahiran dengan baik. Saat istri hamil 3 bulan, sang suami akan memisahkan diri ke kampung lain sampai si anak lahir dan berumur 4 tahun. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga kesehatan ibu.
7. Sistem Pembayaran Adat bagi yang meninggal
Dalam suku Moi, setiap orang yang telah berkeluarga akan dikenai sistem pembayaran adat jika salah satu dari anggota keluarga meninggal dunia. Jika yang meninggal adalah istri, maka pihak suami diharuskan membayar secara adat. Pembayaran itu meliputi: ganti susu, mata, rambut, tulang belakang (dibayar dengan sebilah parang), tengkorak (dibayar dengan gong), pinggang (dibayar dengan piring), darah (dibayar dengan nemala), dll. Jika suami yang meninggal, maka pihak perempuan (diwakili oleh saudara laki-laki bapak) harus membayar piring dan gong. Sedangkan jika anak yang meninggal maka pihak perempuan yang harus membayar karena dianggap istri tidak menjaga anak dengan baik sehingga sakit dan meninggal.
Menurut salah seorang pemuda Moi, Torianus Kalami “Beban mas kawin laki-laki Moi itu berat sekali, karena dilakukan tidak hanya sekali saat melamar, tapi terus menerus sampai akhir hidupnya”.
8. Sistem Mata pencaharian
Suku Moi adalah suku yang hidupnya sangat dekat dan terikat dengan alam, terutama tanah dan hutan. Mereka tidak biasa berdagang, menjadi buruh industri, atau pegawai kantor, bahkan jarang orang Moi menjadi nelayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Cara mengelola tanahnya belum mengenal sistem pertanian modern. Mereka berkebun secara berputar dari lahan satu ke lahan lain, mencari kayu bakar, mencari ikan secara musiman, dan berburu. Hasilnya selain dipakai untuk konsumsi keluarga, juga dijual ke kota atau kampung lain untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya.
D.SEJARAH PENJAJAHAN ATAS SUKU MOI

Bumi ini bulat seperti bola dan selalu berputar pada porosnya. Perputaran bumi itu selalu membawa perubahan dalam ukuran waktu perdetik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan abad. Kita semua menyaksikan dalam perputaran itu Pembangunan Nasional yang dilaksanakan untuk mencapai Masyarakat Adil Makmur ternyata selama 38 telah mengakibatkan penghancuran secara sistematis terhadap keberadaan Masyarakat Adat suku moi di wilayah Malamoi di kota kabupaten Sorong, sehingga menempatkan Masyarakat Adat suku moi, sebagai kaum pinggiran, penonton dan korban di negeri sendiri.
Kini dalam setiap hati Orang Moi menyatakan bahwa tanah Moi belum merdeka, kami masih menderita dalam cengkeraman penjajahan.Jika dipilah maka tiga dekade sudah kami terbelenggu dan dilecehkan; dekade misionarisasi, imperialisme, dan integrasi kedaulatan ke pangkuan RI.
I. Dekade Misionarisasi
Pada tanggal 27 Oktober 1927 Baltazar W. Wagunu misionari dari Sangir mendarat di kampung Manyoi (sekarang daerah PT. Usaha Mina). Masyarakat Adat Malamoi pada waktu itu masih dengan keberadaannya yang asli, sehingga melihat sosok manusia yang berbeda dengan mereka dan datang dengan visi yang berbeda dengan kepercayaan mereka maka secara spontan para tua-tua adat alumnus Kambik berkata kepada Baltazar dalam bahasa Moi “nisik kamabpak giibso, abpak malasa pso, abpak oub pso kibhe“ artinya ko bawa barang yang datang bikin habis dusun, bikin habis tanah bikin habis kayu.
Gema Injil ini mulai tersebar ke daerah pesisir pantai utara, pedalaman dan pantai selatan tanah Malamoi. Kalimat penolakan di atas tidak diucapkan untuk Baltazar W. Wagunu di kampung Manyoi saja tapi di kampung Asbaken distrik Makbon pun kalimat ini diucapkan untuk salah satu tokoh pekabar injil dari suku Moi Bapak Kwatolo sebagai ekspresi penolakan terhadap suatu peradapan baru di tanah Malamoi pada umumnya.
Masuknya injil ini telah menghancurkan semua kearifan lokal karena menurut para misionari bahwa kepercayaan asli/agama masyarakat adat merupakan kepercayaan kafir yang selalu menghambat pertumbuhan iman setiap orang.
II. Dekade Imperialisme
Selang waktu yang tidak terlalu lama antara tahun 1927 ke tahun 1930 kurang lebih 3 tahun Belanda mulai melakukan ekspansi kawasan ekonomi ke Maladum (nama asli sebelum disebut kota Sorong sekarang). Daerah Malamoi di kenal sebagai daerah yang sangat potensial dengan SDAnya sehingga menjadi daerah fokus utama.
Pada tahun 1932 Belanda memulai kegiatan survei dan pemetaan daerah basis minyak dan gas di Klamono tepatnya di tanah adat milik marga Mambrinkofok dan Idik tanpa ada satu kesepakatan bersama, Belanda mulai melakukan kegiatan di sana. Ganti rugi yang diberikan pihak Belanda kepada para pemilik tanah adat ini adalah satu sloop rokok Ampana, satu kartun kornet, satu karton supermi, kampak, kuali, belanga dan kelambu.
Hutan keramat, dusun sagu, dusun langsat, dusun damar, dan kawasan hutan yang biasanya di jadikan sebagai tempat cari makan dikapling menjadi kawasan terlarang milik perusahan minyak Belanda dan masyarakat dipindahkan dari kawasan tersebut ke Klawana (sekaran menjadi perkampungan). Pengrusakan hutan dan penggusuran tempat tinggal menyebabkan Masyarakat Adat suku moi di Klawana menjadi masyarakat marjinal di atas tanah yang kaya raya itu, ibarat “tikus mati di lumbung padi“. Untuk menunjang kegiatan penggurasan minyak dan gas bumi di Sorong maka pada tahun 1932 dan tahun selanjutnya Belanja melakukan ekspansi pendaftaran tenaga kerja dari beberapa daerah di Papua, seperti ; Manokwari, Biak, Serui, Jayapura, Fak-fak, Merauke dan Ambon yang mencapai 6.000 orang untuk menjadi staff dan buruh yang bekerja di perusahan minyak Belanda yang disebut Nederlandsche Niuew Guinea Petroleum Maaschappij disingkat NNGPM.
Dengan kekuatan pengikut karyawan yang cukup besar, Belanda kemudian melakukan negosiasi dengan marga Ulim, Kwatolo, Osok, Kalami dan Bewela sebagai pemilik tanah adat dalam kota Sorong, dalam rangka kontrak tanah seluas 3.250 Ha. Tanah-tanah ini membentang dari sungai Klagison – Bukit Malasatibin – Malanu – Malalumai – Tanjung Batu (distrik Saoka). Kontrak yang dilakukan secara lisan dan sebagai imbalan jasa Belanda memberikan kelambu, belanga, kuwali, kampak, parang, dan rokok kepada setiap marga. Sejak kontrak ini berlaku maka dengan sendirinya tanah seluas 3.250 Ha menjadi milik NNGPM. Sebagai akibat dari penyerahan tanah ini, semua Masyarakat Adat suku Moi yang tinggal di sepanjang tanjung Dofior s/d Lapangan Sepak Bola Kampung Baru (dulu daerah ini masih hutan dan disebut sebagai kampung Malanu) harus dipindahkan ke kawasan di luar tanah milik NNGPM. Masyarakat kemudian menyingkir 10 km ke arah timur (sekarang daerah ini disebut kelurahan Malanu).
III. Dekade Integrasi
Setelah Belanda menyerah kepada Indonesia dan meninggalkan tanah Papua, semua aset yang ada di Papua termasuk di Sorong ditinggalkan oleh Belanda. Pemerintah Indonesia dengan legitimasi sebagai negara yang merdeka mulai dengan sistemnya menguasai dan mengklaim semua aset yang ditinggalkan Belanda sebagai aset negara dan menutup mata terhadap status politik tanah Papua.
- Tanah di Klamono dialihkan menjadi tanah milik PERMINA (sekarang menjadi PERTAMINA). Tanah NNGPM seluas 3.250 ha dialihkan menjadi tanah Negara. Pada tahun 1972 Permina memulai kegiatan seismic di Seget dan Salawati dibawah salah satu CV milik Aqao Meles (sekarang orangnya tinggal di pulau Duum). Selama kegiatan eksploitasi dan eksplorasi tambang minyak dan gas bumi baik di Klamono maupun Seget, Masyarakat Adat tidak mendapat pengakuan sebagai pemilik tanah adat dan tidak punya ruang untuk mengaksesnya.
- Tekanan terus berlangsung, beberapa kampung di Salawati daratan dijadikan satu lalu di pindahkan ke sebuah pulau yang bernama Yeflio. Kawasan perkampungan yang ditinggalkan kemudian dijadikan sebagai kawasan investasi milik PERTRO METREN perusahan asing rekanan Pertamina. Kondisi serupa juga terjadi di Waliam, Duriang Kari, Malabam dan Seget. Tekanan ini dengan sendirinya menciptakan marjinalisasi dan sampai sekarang masyarakat adat distrik Seget pada umumnya masih tinggal di rumah-rumah beratap sagu dan perkampungan di sana sangat kumuh dan jauh dari standar pemukiman yang layak.
- Di atas tanah-tanah Pertamina ini muncul berbagai jenis sertifikat tanah milik oknum staff Pertamina, investor, pejabat pemda dan TNI/Polri.
- Selain sertifikat tanah ada berbagai usaha dibuka, antara lain Sawmill, IPK, IHPHH, milik pengusaha-pengusaha kayu yang tinggal di Jakarta termasuk Robert Kardinal. Perhatian pemda terhadap masyarakat di sekitar daerah eksplorasi hampir tidak ada, sehingga rata-rata masyarakat di sekitar berada pada titik kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan yang tiada tara
.
- Tanah negara 3.250 ha (bekas NNGPM menjadi lahan bisnis kaum imigran, investor besar kecil, dan negara sehingga mengakibatkan pemilik tanah adat kehilangan haknya dan hampir semuanya menjadi pihak tanpa tanah.
- Sejak tahun 1977 program transmigrasi pertama dicanangkan di Papua, tepatnya di Kelurahan Klasaman, lahan yang dibutuhkan sangat luas, mencapai 700.000 ha. Tanah-tanah masyarakat kemudian diserahkan pada pemerintah untuk program transmigrasi akibat adanya intimidasi militer. Hal serupa juga terjadi di wilayah transmigrasi lain, yaitu Aimas.
- HPH PT. Intimpura Timber Co. memulai kegiatan survei pada tahun 1990 di distrik Makbon di bawah bendera Pusat Koperasi Angkatan Darat (PusKopAD) milik Kodam Trikora Papua. Masyarakat adat tidak menghendaki HPH ini, namun aparat selalu berkata jika ada di antara masyarakat adat yang menahan dusunnya maka ia akan berhadapan dengan TNI. Yang melawan dan tidak mau menyerahkan hutannya akan didakwa menyembunyikan orang-orang yang melakukan aktifitas Organisasi Papua Merdeka (OPM) di sana. Dengan dugaan seperti ini membuat masyarakat trauma dan akhirnya harus menerima kehadiran PT. Intimpura.
- Pembayaran ganti rugi tidak sesuai dengan UU yang berlaku di negara ini, setiap pembayaran konpensasi selalu di lakukan di kantor Markas Komando Resort Militer (Makorem). Kompensasi yang diberikan tak lebih dari Rp 10 juta, bahkan banyak masyarakat yang tidak mendapatkan apa-apa.
- Semua perusahaan yang ada melakukan rekrutmen tenaga kerja secara diskriminatif, orang papua, khususnya orang Moi sangat dibatasi untuk masuk ke perusahaan-perusahaan. Kalaupun ada, mereka kebanyakan hanya jadi pekerja kasar.
- Selain HPH Intimpura, ada HPH Hasrat Wira Mandiri, HPH Hanorata, HPH Multi Wahana dan HPH Manca Raya Agro Mandiri. Lima HPH ini yang terbesar dan sangat merugikan masyarakat
Kasus-kasus di atas lama kelamaan dengan sendirinya melahirkan 1001 macam rasa kecewa, sekaligus memicu gagasan-gagasan baru untuk berjuang.
E. BERDIRINYA LMA MALAMOI SORONG
Pada hari Rabu tanggal 25 Maret 1998 jam 17.00, berkumpul 11 orang di rumah mama Robeka Bewela di Malanu untuk mulai membentuk Lembaga Adat yang lebih jelas di sebut dengan Lembaga Masyarakat Adat Malamoi Sorong. Sebelas orang ini antara lain ; Dominggus Sani, Silas Kalami, mama Robeka Bewela, Calvin Kwatolo, Baldus Kalasuat, Pdt. Hans Mubalen, Jan Buratehi, bapak Hendrik Ulim, Albert Bahamba, Luther Kalami, dan Ananias Mili. Komposisi pengurus LMA Malamoi waktu itu disepakati sebagai berikut:
• Ketua : Pdt. Hans Mubalen, S.th.-
• Wakil Ketua : Pdt. Marthen Wali.-
• Wakil Ketua : Matias Asrima.-
• Sekretaris : Silas Ongge Kalami, S.Sos
• Wakil Sekretaris : Ananias Mili.-
• Bendahara : Luther Kalami
• Wakil Bendahara : Mama Robeka Bewela.-
• Sekretaris Bidang Organisasi: Dominggus Sani.-
Dalam pertemuan ini hal yang dibahas adalah pembahasan Draft Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi sekaligus penandatanganan Berita Acara pembentukan. Pada tanggal 10 April 1998 Pembentukan Lembaga Masyarakat Adat tersebut mendapat dukungan dari 45 tokoh adat, tokoh masyarakat dan pemuda yang ditemui secara terpisah melalui suatu pengumpulan tanda tangan.
LMA-MS kemudian mengadakan rapat perdana pada tanggal 25 Juni 1998 bertempat di SD YPK Elim Malanu, yang intinya menyoroti beberapa masalah:
• LMA-MS harus menjadi organisasi Masyarakat Adat yang mempunyai akses di tingkat lokal, regional, nasional dan international.
• KKN dan Pelanggaran HAM sebagai akibat intervensi pemerintah, TNI/Polri dan investor serta keterlibatan IKBM di dalamnya.
• Kekecewaan masyarakat terhadap keberadaan IKBM dan pengurusnya karena organisasi tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi bahkan dinilai terlalu banyak memihak kepada kepentingan pemerintah sehingga kepentingan Masyarakat Adat diabaikan begitu saja.
Setelah rapat perdana, kegiatan LMA-MS untuk sementara dalam keadaan vakum. Kondisi ini disebabkan oleh makin giatnya ketua Umum IKBM Sorong mengadakan ibadah-ibadah untuk merangkul ketua dan pengurus LMA-MS ke dalam IKBM. Akhir dari semua upaya tersebut ketua Umum IKBM mengundang seluruh intelektual, Pengurus LMA-MS serta sejumlah pengurus IKBM untuk memberikan pengarahan, bahwa suku hanya memiliki satu organisasi resmi yaitu IKBM Sorong.
LMA-MS menjadi agak goyah saat itu, ketika pengurusnya sebagian menjadi anggota Tim Dialog IKBM yang dibentuk sebagai upaya kompromi LMA-MS dengan pengurus IKBM. Upaya dilakukan dengan alasan supaya tidak muncul suatu wadah baru yang dapat jadi alat mengadu domba Masyarakat Adat. Upaya ini ternyata tidak berhasil karena kertidakserasian dalam sistem kerja Tim Dialog IKBM dengan pengurus IKBM. Pada Tim Dialog IKBM, ditemui sikap radikal ekstrim dalam memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat yang dirampas oleh negara dan investor, sementara pada pengurus IKBM ditemui sikap yang benar-benar moderat kompromis terhadap pemerintah dan investor (lingkaran kolusi).
Kondisi inilah yang menempatkan anggota Tim Dialog dengan pengurus IKBM bagaikan “Bumi dan Langit“ dan bahkan saling mencurigai sehingga sulit dibedakan siapa yang memperjuangkan kepentingan Masyarakat Adat dan siapa yang memperjuangkan kepentingan pemerintah. Setelah pembubaran Tim Dialog IKBM oleh Ketua Umum IKBM pada rapat tanggal 10 Juni 1999 yang diikuti oleh pernyataan Masyarakat Adat secara lisan untuk melepaskan diri dan tidak mendengarkan lagi IKBM sebagai organisasi resmi mereka. Kemudian muncul keinginan dari para kaum intelektual yang dulunya bergabung dengan Tim Dialog IKBM untuk menghidupkan dan mengaktifkan kembali LMA-MS dan tetap bertahan di tengah proses perbaikan dan pembaharuan.
Akhirnya melalui dialog dengan barbagai pihak ditemukan sejumlah kesepakatan antara lain :
1. Mengusahakan kemampuan LMA-MS di dalam menegakkan posisi tawar Masyarakat Adat dalam memperjuangkan hak, menyalurkan aspirasi dan memberdayakan Masyarakat Adat Malamoi agar selalu eksis di tengah kehidupan masyarakat majemuk.
2. Menyurati Dinas Transmigrasi kab. Sorong untuk meminta kantor bekas Dinas Transmigrasi di Jalan Basuki Rahmat Km. 7 sebagai sekretariat LMA-MS.
3. Menindaklanjuti hasil kerja Tim Dialog IKBM dengan membentuk Tim Independen LMA-MS.
4. Melaksanakan MUSORDAT ke-I pada tahun 1999 untuk mengakomodir sejumlah tuntutan, dukungan, dan harapan Masyarakat Adat melalui pembentukan Panitia MUSORDAT ke-I dan panitia telah terbentuk. Namun panitia tersebut vakum dalam menjalankan tugasnya, maka Pengurus terpaksa mengambil alih penyelenggaraan MUSORDAT ke- I ini.
Keempat amanat inilah yang diusahakan untuk diperjuangkan dengan berbagai resiko yang mungkin akan dihadapi.
Sidang adat atau MUSORDAT (Musyawarah Organisasi Adat) ke I dilaksanakan pada tanggal 24 agustus 1999. Sidang dihadiri wakil-wakil masyarakat adat dari Seget sampai Sausapor. Sidang dilakukan di Aula Graha selama 2 hari. Waktu itu seluruh peserta menginap di hotel-hotel besar di Sorong secara gratis. Kami panitia menyatakan kepada pemilik hotel dan angkutan umum yang digunakan, bahwa PEMILIK WILAYAH SORONG yang asli akan punya hajat. Jika ditarik bayaran maka, hotel2 harus bayar dulu pajak pemakaian tanah kepada orang Moi. Hotel kemudian bersedia memberi fasilitas, demikian juga berbagai rumah makan dan angkutan. Sidang pertama ini menghasilkan beberapa poin keputusan antara lain
LMA-MS akan membangun hubungan kerjasama dengan berbagai pihak yang bersedia mendukung sepenuhnya perjuangan LMA-MS. Pihak-pihak tersebut antara lain adalah LSM dan gereja. Pada tahun 1999 LMA-MS mengirim wakilnya Okto Mambraku mengikuti sidang adat nasional yang dibuat oleh AMAN di Jakarta sekaligus mendaftarkan LMA-MS sebagai anggota AMAN.
Sejak pembentukan LMA-MS tanggal 25 Maret 1998, dalam aksinya tidak sedikit rongrongan, tantangan rata-rata generasi muda dan orang sekolahan. Di tengah situasi semacam itu Pengurus Harian berusaha bekerja semaksimal mungkin dengan mengumpulkan sejumlah kaum intelektual, generasi muda, dan tokoh adat yang rela bekerja keras untuk merobah pandangan dan kondisi masyarakat Malamoi.
Pada tanggal 21 September 1999 melalui suatu rapat Pengurus Harian yang dihadiri oleh para tokoh adat dan intelektual Malamoi menjatuhkan sangsi organisasi kepada saudara Pdt. Hans Mubalen, S. Th dan saudara Marthen Wally masing-masing sebagai ketua dan wakil ketua LMA-MS. Sangsi ini dijatuhkan karena keduanya terbukti terlibat “Kolusi“ dengan pejabat pemda untuk memasukan perusahaan ilegal PIR kelapa Sawit di Lembah Klasouh distrik Makbon. Sebelumnya keberadaan PIR ini telah ditolak oleh para pemilik tanah adat dan LMA-MS. Sebagai akibat dari sangsi organisasi ini, otomatis saudara Matias Asrima sebagai salah satu wakil ketua menggantikan posisi ketua sebagai ketua baru sampai pelaksanaan MUSORDAT ke- I.
Setelah pengangkatan bapak Matias Asrima sebagai pejabat ketua LMA-MS, maka sedikit demi sedikit program organisasi mulai berjalan.
KESAKSIAN DUA PEMUDA DIBALIK KEBANGKITAN SUKU MOI
Kilas Pengalaman Dominggus Sani dan Silas Kalami
Malam itu, diterangi sinar bulan, kami berdua berjalan kaki menyusuri pohon-pohon di kebun yang diolah oleh orang Inanwatan. Langkah kami cepat, tegap, tidak mengendap seperti pencuri. Di tangan kami sebilah pedang sepanjang satu meter, berkilat oleh pantulan cahaya bulan. Sampai di kebun pisang kami berhenti sejenak, tanpa berkata-kata kami mulai ayunkan pedang, membabat pohon-pohon pisang segenap tenaga dan sepenuh hati. Satu persatu batang-batang pisang yang mulai berbuah itu berjatuhan ke tanah bersama dengan cucuran keringat kami. Serangga malam menjadi saksi, dua putra Moi sedang mengambil kembali hak atas tanah ulayat sukunya, yang selama bertahun-tahun dikuasai oleh suku lain. Kami menyarungkan pedang ketika semua batang pisang di kebun yang luas itu tumbang tak tersisa.
Lalu kami berjalan pulang menjelang subuh, dengan tekad bulat untuk melakukannya lagi dan lagi pada kebun, patok-patok tanah, dan menara-menara tambang minyak milik orang asing yang berdiri di sini, di atas tanah ulayat suku kami.
***
Kami dua pemuda putra suku Moi memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda. Saya, Dominggus Sani, bersekolah di Sekolah Kejuruan Alkitab di Jayapura dan Silas Kalami mengambil jurusan Administrasi Negara di Universitas Cenderawasih. Walaupun kami berdua memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda tidak mempengharui ide-ide dan gagasan, justru hal itu merupakan kekuatan kami padukan.
Kami berdua bertemu tahun 1996 dan mulai membangun diskusi-diskusi formal maupun non formal dengan mahasiswa Malamoi di Jayapura, baik personal maupun kelompok mahasiswa. Kami sering mengisi diskusi di forum-forum Ikatan Mahasiswa Malamoi Sinifagu Jayapura. Dalam diskusi-diskusi ini ide dan gagasan kami tidak diterima oleh sebagain besar mahasiswa, sebagian kecil saja yang merespon baik. Mereka yang tidak menerima ide dan gagasan ini punya alasan bahwa ide-ide dan gagasan kami sangat radikal ekstrim dan sangat berbahaya kalau dilaksanakan, karena rezim orde baru masih berkuasa. Sedangkan mereka yang menerima gagasan kami beralasan bahwa pikiran ini relevan untuk memperjuangkan hak, menyalurkan aspirasi dan memberdayakan Masyarakat Adat Malamoi agar eksis di tengah-tengah masyarakat yang semakin beraneka ragam ini.
Ada modal dasar yang Kami berdua miliki adalah sudah ada ikatan emosional yang terbangun dalam sistem hubungan adat yang biasa disebut dengan hubungan Mamtlok artinya Sobat/Saudara/Kawan senasib dalam menghadapi maupun menyelesaikan kasus atau membantu membayar maskawin atau dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hubungan mamtlok ini berfungsi untuk mengikat persaudaraan dan hubungan ini sangat kuat dalam kehidupan masyarakat adat Malamoi khususnya sub suku Kelim dan Klasa.
Pada tahun 1997 kami berdua membuat komitmen bersama: harus kembali ke kampung halaman di Sorong untuk berjuang secara langsung, bukan lagi hanya bicara dan diskusi dari jarak jauh. Saya lebih dulu pulang, meninggalkan bangku kuliah, dan Silas menyusul beberapa bulan kemudian. Setelah ada di Sorong tidak ada ruang untuk mengakses sekaligus menyebarkan ide-ide dan gagasan kami, karena semua intelektual Malamoi, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, tokoh pemuda dan masyarakat Malamoi pada umumnya sudah terindoktrinasi dengan ideologi Ikatan Keluarga Besar Malamoi (IKBM) Sorong sebagai satu-satunya organisasi sosial suku Malamoi yang dibentuk pada tahun 1992 yang ketua umumnya Bapak Eduard Kalami sebagai sosok tokoh Moi yang paling dikenal semua pihak, baik tingkat lokal, regional maupun di tingkat nasional.
Dengan legitimasi ini beliau semakin memperkuat posisinya dengan mendekatkan diri pada Pemerintah, ABRI/TNI dan Investor. Masyarakat tidak mendapat kesempatan untuk membangun sebuah institusi perlawanan tapi justru masyarakat menyebut bapak Eduard Kalami sebagai dewa/Tuhannya orang Malamoi. Kami berdua setelah berada di Sorong mulai mengikuti dan menilai sepak terjang organisasi IKBM. Kami kemudian sampai pada kesimpulan, IKBM bukanlah organisasi pengayom tapi justru menjadi pintu masuknya investor dan sekaligus sebagai kendaraan politik yang berperan pada pemilu 1992 dan 1997.
Setelah menemukan berbagai fenomena di masyarakat akibat lemahnya kinerja pengurus organisasi ini, lalu kami berdua mulai membangun sebuah jaringan bernama Jaringan Transformasi Sosial untuk masyarakat Malamoi (JTS). Jaringan ini tujuannya adalah menjadi wadah untuk menyebarkan gagasan kami ke intelektual Malamoi, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, tokoh pemuda dan masyarakat dan pada umumnya.
Dengan adanya Jaringan ini kami berdua membuat jadwal turun ke beberapa kampung seperti; Seget, Klawana, Aimas, Mariat gunung, Klasaman, Makbon, Malaumkarta, Asbaken, Della, Mega, Klayili dan Beraur, untuk melakukan diskusi langsung dengan masyarakat. Kehadiran kami di tengah masyarakat lebih banyak untuk mempresentasikan gagasan kami kepada mereka lalu coba memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk membandingkannya dengan kiprah IKBM.
Kami tidak butuh jawaban dari masyarakat pada saat diskusi-diskusi di kampung, yang kami butuhkan dan harapkan dari masyarakat adalah mereka bisa mengerti dan menerima ide yang kami bangun. Kegiatan ini terus berjalan dan akhirnya muncul respon masyarakat, terutama masyarakat adat yang berhadapan langsung dengan masalah tanah, hutan dan tambang migas sebagaimana kasus-kasus yang telah disebutkan di atas. Kegiatan turun kampung kami hentikan dan mulai fokus di dalam kota Kami sengaja tinggal dengan mama Robeka Bewela di kelurahan Malanu, seorang korban pencaplokan tanah oleh NNGPM. Kegiatan kami di rumah mama Robeka Bewela setiap hari adalah diskusi penyadaran agar mama Robeka mengerti gagasan kami serta berpikir kritis tentang hak-haknya yang dirampok negara. Melalui diskusi yang kami bangun, mama Robeka Bewela menyadari akan segala eksistensinya yang hilang, suatu waktu mama Robeka sampaikan permohonan kepada kami berdua seperti begini “ anak kamu dua tolong perjuangkan mama pu tanah kah supaya statusnya kembali menjadi tanah adat“ kalimat ini dengan sendiri mendorong kami berdua selalu tampil di depan dan mama Robeka Bewela di belakang.
Kegiatan pertama yang kami lakukan adalah menyurati kerajaan Belanda di Den Haag untuk meminta keterangan jelas tentang status tanah ini dan jawaban dari kerajaan Belanda di Den Haag melalui kantor kedutaan Belanda di Jakarta adalah tanah tersebut hanya dikontrak dan pada waktu Belanda tinggalkan Papua status tanah ini kembali ke mama Robeka Bewela sebagai pemilik tanah adat. Kami tidak puas dengan jawaban surat yang tidak relevan dengan realita di lapangan yang menyatakan bahwa ini adalah tanah negara. Lobi-lobi dengan pihak BPN kabupaten Sorong maupun kontak person dengan pelaku-pelaku sejarah di zaman itu mulai kami lakukan. Dalam lobi lobi ini kami mendapat sebuah dokumen yang kuat bahwa Abdul Kadir Warwei atas nama kepala suku Malamoi menyerahkan tanah seluas 3.250 ha ini kepada pihak Pemerintah Indonesia pada tahun 1950. Saudara Abdul Kadir Warwey bukan orang asli dari suku Malamoi, tapi mereka termasuk kelompok migran dari Ternate yang pertama datang ke tanah Malamoi dan tinggal di pulau Maladum. Dokumen tanah erpact ini menjadi dasar kuat, kami berdua mulai menyusun berbagai rangkain kegiatan di atas tanah adat milik mama Robeka Bewela.
Kegiatan kedua kami beri nama gerakan sabotase, yaitu gerakan pencabutan patok-patok beton dan besi peninggalan Belanda maupun yang ditanam oleh Pemerintah Indonesia, mulai dari daerah Saoka sampai Malalumai (palputih). Kami juga mencabuti papan-papan nama yang ditanam pada masa pemerintahan Bupati Abraham O. Atururi yang berisi larangan-larangan seperti; dilarang menggali batu di atas tanah milik pemda, dilarang menggali pasir di atas tanah milik pemda, papan nama tanah milik PDAM, milik pertamina, milik ini dan itu, dan sebagainya. Di tempat-tempat itu kemudian kami ganti dengan patok bertuliskan “INI TANAH ADAT MILIK MALAMOI”. Gerakan ini berjalan selama satu minggu lalu kami mulai mengevaluasi kembali semua aksi kami.
Kegiatan Ketiga supaya gerakan kami kuat maka kami berpikir untuk melindungi diri dengan hukum adat, dengan cara menggagas pembentukan Lembaga Adat Malamoi. Kami berdua lalu mengumpulkan beberapa orang secara paksa (karena mereka sebagai korban tidak pernah merasa diri dirugikan dan ketika diundang justru ketakutan). Mereka adalah bapak Hendrik Ulim, mama Robeka Bewela, saudara Albert Bahamba, dan Wellem Buratehi. Kepada mereka kami menawarkan ide tentang pembentukan Lembaga Adat dan ternyata semuanya setuju.
F. DEMONSTRASI MENUNTUT HAK
Inilah pertama kalinya dalam sejarah orang Moi melakukan demonstrasi menyuarakan kehendak dasarnya. Sungguh suatu hal yang luar biasa, karena suku Moi selama ini dikenal sebagai suku yang ramah, pasif, tidak melawan dan terima saja apa yang ada, bahkan dicap bodoh serta penakut. Aksi ini secara institusional diprakarsai oleh LMA-MS dan dimotori oleh para pemudanya. Alasan kuat dari dilakukannya aksi demontrasi ini adalah:
1. Ketidakpuasan suku Moi terhadap pemerintah daerah yang saat itu dipimpin oleh John Piet Wanane asal Suku Aifat.
2. Aspirasi suku moi tidak pernah didengar, dalam hal apapun
3. Tidak ada kejujuran tanah adat atau pengakuan atas tanah adat
4. Suku moi tidak dilibatkan dan diterima sebagai pegawai negri
5. Banyak lahan transmigrasi yang tidak dikembalikan kepada pemilik tanah
6. Moi dianggap suku yang bodoh dan lemah
Aksi turun ke jalan ini sangat dijiwai oleh semangat ingin membuktikan eksistensi suku Moi sebagai tuan tanah wilayah Sorong, yang dilupakan bahkan dilecehkan keberadaannya.
Aksi diawali dengan pemasangan spanduk dan penyebaran brosur dan pamflet serta melakukan pertemuan-pertemuan loby dengan berbagai pihak terutama DPRD, pemerintah daerah, dan perusahaan2. Namum upaya ini tidak ditanggapi secara serius oleh semua pihak tersebut, bahkan masyarakat umum tidak memberi perhatian terhadap aksi yang dilakukan. Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 27 Januari 2000, ratusan masyarakat Moi melakukan aksi duduk selama 4 hari di halaman gedung DPRD Sorong. Sumbangan makanan datang dari berbagai penjuru baik dari orang asli papua maupun pendatang, gereja, dan juga perusahaan besar dan kecil yang ada di sorong.
Salah satu tuntutan LMA-MS yang paling keras adalah lengsernya Bupati Sorong Jhon Piet Wanane dari jabatannya. LMA-MS memberikan batas waktu sampai tanggal 7 Pebruari kepada DPRD untuk memenuhi tuntutan tersebut. Namun karena tidak juga mendapat respon dari DPRD maka pada tanggal 7 Pebruari 2000 dilakukanlah “sumpah adat” yang dalam adat Moi merupakan keputusan akhir. Diperkirakan ada puluhan ribu kepala turun ke jalan membuat arak-arakan. Demonstrasi bernuansa adat ini diikuti dengan aksi pemalangan (memaku balok-balok kayu secara bersilangan) pada pintu-pintu sejumlah kantor pemerintah yang dianggap telah merugikan masyarakat Moi antara lain DPR-D, Kantor Pajak, Kantor Pertanahan, dan PDAM, perusahaan (Pertamina, PT. Usaha Mina, Santa Fe), toko, dll. Semua kunci kantor diambil dan ditahan oleh massa. Pemalangan ini diikuti oleh upacara-upacara adat, dengan meninggalkan berbagai obat, ramuan, dan benda keramat di pagar dan pintu-pintu kantor. Aksi pemalangan ini adalah satu strategi untuk membuktikan bahwa suku Moi ada, kuat, harus dihargai, dan diakui sebagai tuan tanah di negerinya.
Di luar dugaan sebelumnya, masyarakat dari berbagai suku bergabung dengan orang Moi, tumpah ruah di jalan-jalan. Ini menyebabkan seluruh kantor pemerintah maupun swasta, beserta sekolah-sekolah libur selama satu minggu. Toko-toko tutup, angkutan kota tidak beroperasi, hanya ojek-ojek yang masih mampu berjalan di tengah massa. Polisi hanya berjaga-jaga di beberapa titik, ratusan tentara juga hanya berdiri tak berbuat apa-apa. Meski demikian suasana terlihat tertib, tak ada korban jiwa selama aksi berlangsung. Menurut Dosa, salah seorang pelopor aksi, demonstrasi ini dilindungi dan dipagari oleh kekuatan mistik yang dikerahkan oleh para orang tua adat di hutan-hutan dan gunung (lihat tulisan: kekuatan keramat di balik demo orang Moi).
Kekuatan Keramat Di Balik Demo Orang Moi
Banyak orang mengakui, sungguh beda suasana demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat adat (MA) dengan demonstrasi mahasiswa atau kelompok-kelompok massa lainnya. Pada hari itu, 27 Januari 2004, ribuan orang dari suku Moi turun dari kampung dan gunung ke jalan-jalan di kota Sorong, tua muda, laki-laki perempuan, hingga anak-anak dan bayi dalam gendongan mama. Mereka membawa berbagai perangkat budaya, mulai dari alat musik, baju adat, senjata tradisional, sampai benda-benda keramat lainnya. Silas Kalami dan Dominggus Sani, dua motor aksi saat itu, mengaku tidak tidur selama 7 hari tujuh malam untuk mempersiapkan segala sesuatu. Empat hari penuh mereka berkeliling dari satu kampung ke kampung lain, memimpin rapat-rapat dengan berbagai elemen, mulai dari para orang tua adat, perempuan, pemuda, dll. Tiga hari menjelang aksi, keduanya dibawa ke hutan keramat oleh para tetua adat untuk dibekali semacam kekuatan dan benda-benda pamali milik nenek moyang suku Moi. Selama 3 hari itu mereka berpuasa, tidak diperbolehkan bertemu dengan orang lain, dan menanggalkan semua pakaian dan atribut modern yang melekat di badan lalu menggantinya dengan pakaian dan perhiasan adat. Ketika saatnya tiba, mereka berdua turun gunung bersama para orang tua, mengenakan pakaian adat dan tas noken berisi benda keramat. Noken itu tidak diperkenankan lepas dari bahu mereka, dan tidak boleh disentuh oleh perempuan, yang dipercaya dapat melenyapkan kekuatan pelindung dua pemuda tersebut.
Berbagai benda keramat dan mantra dipasangkan di titik-titik tertentu. Saat pemalangan kantor terjadi, beberapa benda dan mantra ditanam dekat pintu. Tak seorangpun berani menyentuh palang-palang pintu, karena dipercaya jika ada orang yang hendak coba membukanya, maka ia akan mati saat itu juga. Beberapa orang tua membawa batang-batang bambu dan parang, jika bambu itu di potong dengan parang maka 5 orang yang ada di dekatnya akan meninggal dunia. Anehnya, para tentara dan polisi bersenjata tak berani mendekat. Mereka hanya berdiri dan mondar-mandir di pinggir-pinggir jalan tanpa berbuat sesuatu.
Benarkah kekuatan keramat itu bekerja saat peristiwa turun ke jalan berlangsung? Tidak ada yang tahu kecuali orang-orang Moi sendiri, khususnya para tua-tua adat. Yang jelas, saat berlangsung pengucapan Sumpah Adat di depan gedung DPRD, cuaca tiba-tiba berubah. “Mendung hitam menutup kota dan hujan turun deras sekali tak lama kemudian, petir menyambar-nyambar seperti suara tembakan yang dilepas dari langit..Semua orang tinggal dalam rumah dengan pintu dan gorden tertutup. Hujan waktu itu sungguh lebat, sampai mata ini tak bisa melihat pada jarak 2-3 meter ke depan” tutur seorang saksi yang rumahnya berdekatan dengan kantor DPRD. Hujan tak juga reda hingga tengah malam, dan membuat air naik menggenangi kota. Sorong dilanda banjir besar, di daerah-daerah tertentu rumah-rumah tenggelam hingga tinggal terlihat atapnya. Orang-orang pergi mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Semua orang mengakui, inilah banjir terbesar yang melanda kota Sorong. Adakah banjir itu ada hubungannya dengan kemarahan orang Moi yang akhirnya melepaskan sumpah adat sukunya? Entahlah.. ***
Pemerintah yang kebingungan karena aparat keamanan seperti hilang kekuatan, kemudian meminta beberapa pendeta untuk melakukan negosiasi dengan pemimpin2 massa. Para pendeta ini juga ditugaskan berdoa untuk membuka kekuatan adat di balik palang-palang yang ada. Kehadiran pendeta-pendeta dan negosiasi yang mereka lakukan akhirnya mampu membujuk masyarakat untuk mengakhiri aksinya, membongkar palang pintu, menyerahkan kunci-kunci, dan kembali pulang ke rumah masing-masing.
Satu minggu kemudian, muncul respon dari berbagai pihak antara lain:
1. Lima orang wakil suku Moi langsung dipanggil untuk bertemu wakil dari kantor pusat perusahaan minyak Santa Fe dari AS di Jakarta. Selai itu juga berunding dengan pertamina pusat di Jakarta. Hasilnya: Pertamina, Santa Fe, dan PT. Usaha Mina 3 perusahaan yang menjadi sasaran utama kemarahan masyarakat Moi, sepakat untuk memberikan beasiswa bagi putra-putra Suku Moi, mulai dari SD hingga selesai tingkat Master. Beasiswa juga diberikan oleh PDAM. PT. Usaha Mina dan PDAM sepakat memberikan beasiswa pada para pemilik tanah yang dipakai oleh keduanya. Sedangkan Pertamina memberikan beasiswa pada seluruh anak-anak suku Moi.
2. Pemerintah sepakat untuk menyediakan kesempatan bagi putra Moi menjadi pegawai negeri, membangun sarana – prasarana di kampung-kampung di mana masyarakat Moi tinggal, dan membangun asrama – asrama mahasiswa Moi
3. Dikuasai perusahaan dan negara kepada para pemilik adat yang syah, misalnya pengembalian tanah-tanah yang diklaim Pertamina di beberapa tempat dokembalikan ke marga Ulim, Bewela, dan Kuatolo, Sedangkan kawasan hutan lindung seluas 60 ha dan tanah seluas 75 ha yang dikuasai marinir, dikembalikan ke marga Malaseme. Dan beberapa tanah yang diklaim pendatang secara perseorangan juga dikembalikan kepada pemilik aslinya.
Dari gerakan ini LMA-MS mulai dikenal di seluruh Papua dan di tingkat nasional maupun internasional. Walaupun sebagian masyarakat Moi kini telah menikmati kehidupan yang layak, tetapi masih banyak yang hidup berkekurangan. Selain itu masih terjadi juga penggunaan tanah adat yang sembarangan oleh pihak-pihak luar.

SUKU MOI, BANGKITLAH
Pengakuan para pemuda anak adat Suku Moi
Suku Moi merupakan salah satu etnis suku besar yang terdapat di kawasan kepala burung-pulau Papua. Suku kami yang biasa kami sebut dengan suku KASIH, mendiami wilayah dari Ambun sampai Beraur dan kepulauan-kepulauan seperti Misool, Salawati, Batanta, dan Waigeo. Orang-orang asli di Raja Ampat itu asalnya juga dari tanah Moi, bisa dilacak sejarahnya jika ada kehendak. Meski mereka menyebut diri sebagai suku Maya sebagai suku asli Raja Ampat, tapi sesunguhnya mereka orang Moi. Sesuai dengan tuntutan pembangunan dan pelayanan pada masyarakat, maka di atas Tanah Moi terdapat 3 wilayah pemerintahan yang otonom, yaitu Kota Sorong, Kabupaten Sorong, dan Kabupaten Raja Ampat. Pada tiga wilayah tersebut eksistensi suku moi belum terlalu diperhitungkan.
Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala kami yang muda ini, mengapa:
a. Tanah-tanah atau tempat-tempat ini dikuasai oleh siapa? Apakah masih ada marga-marga dari suku Moi yang memiliki Hak Adat dan Hak Ulayat diatas tanah ini? Mengapa orang Moi tersingkir diatas negerinya?
b. Mengapa hutan lindung di sekitar DAS Remu, DAS Klabala, DAS Klatifi, Pal putih, dan lain-lain menjadi tandus dan gersang? Kapan hutan lindung ini kembali seperti semula ataukah tidak dapat hijau dan membuat banjir dan juga kekeringan air di musim panas.
c. Mengapa orang lain yang menjual minyak, pasir, batu, kayu, dan manggrove dari tanah moi sementara orang moi hanya menonton dan tidak dapat berbuat sesuatu?
Dalam sejarah perjalanan panjang suku Moi, terasa bahwa ada sesuatu yang hilang, sehingga membuat suku kami tidak berdaya dan mejadi asing di atas tanah sendiri. Bagian yang paling hilang dalam perjalanan panjang suku kami adalah tidak adanya “NEFUN” (PEMIMPIN). Karena untuk memimpin suku Kasih harus ada seseorang yang mempunyai kharisma, wibawa, pengaruh dan legitimasi dari masyarakat adat serta disegani oleh pemerintah, gereja, militer, investor dan lain-lain. Yang sekarang sedang dinanti-nantikan oleh masyarakat Moi adalah NEFUN. Wahai, kapankah NEFUN datang di tanah Moi (malamoi) untuk menyelamatkan suku Kasih ini? Apakah NEFUN ini seorang perempuan atau laki-laki?
Suku Moi memiliki karakter yang khas, hal yang membuat kami menjadi merasa canggung untuk tampil di depan. Kami dididik bagaikan tanpa daya juang, semangat mudah kendur, enggan bekerja keras, dan terlalu santai menikmati apa yang ada seadanya saja. Tak heran jika kami sering diabaikan, ditipu, disingkirkan. Tetap saja tak ada gerak melihat orang lain bekerja di dekat kami, bahkan ketika orang-orang luar itu mengambil apa yang kami miliki di depan mata kepala sendiri!
Mengamati perkembangan orang Moi dapat dikatakan bahwa suku kami baru memulai langkah menyongsong kemajuan yang sedang berlangsung, sementara suku-suku lain telah berlari jauh di depan. Padahal pusat kota di Sorong dibangun di atas tanah Moi, lahan untuk berkebun tersedia luas, dusun sagu menghampar, hasil laut dan hutan berlimpah ruah. Limpahan kekayaan alam itu justru membuat masyarakat Moi seperti dimanja tak ingin berusaha mencapai taraf hidup tertentu. Orang dari lain suku memanfaatkan semua yang tersedia di Malamoi untuk meraih masa depan dan kemajuan sukunya. Sebaliknya suku moi hanya santai-santai dan tidak mau bekerja keras untuk menata hidup dan kehidupannya, dan membayangkan diri masih hidup di taman eden yang tidak perlu kerja keras untuk mencapai sesuatu. Jika tanahnya diambil, mereka akan menyingkir ke tempat lain, dan terus menyingkir sampai ke hutan dan gunung-gunung. Tanah-tanah itu toh masih luas membentang, seakan tak kan ada habisnya sampai tujuh turunan digusur sekalipun!
Jadilah suku besar ini tertinggal di hampir penjuru bidang karena SDM-nya tidak pernah dipersiapkan dengan baik. Kami yang berkemauan keras dan ingin sekolah justru menghadapi tantangan berbagai pihak. Kapankah Moi diperhitungkan, kelak, ya kelak jika manusianya telah terbuka matanya dan memiliki semangat serta kemampuan gerak sesuai perkembangan jaman.
Sifat sinagi sungguh keterlaluan besarnya pada suku moi. Kami pemaaf, mengasihi siapapun, dan memiliki ikatan kekeluargaan yang erat. Jika ada salah satu yang kekurangan atau tertimpa musibah, maka yang lain akan segera membantu. Sifat ini justru membuat masyarakat Moi semakin santai, “Ah, nanti juga ada yang kasih bantu, tara perlu susah-susah to?”. Orang Moi cenderung menilai setiap orang lain berhati emas dan mudah menganggap siapa saja sebagai keluarga. Sehingga jarang terjangkit rasa curiga, sakit hati, pertengkaran, dan dendam. Sungguh suku yang mulia dalam tentram damai, dan dunia ini selalu tersenyum manis dan bersukaria dengan kami.
TAK PERNAH TERSADARI OLEH MASYRAKAT MOI BAHWA TAMAN EDEN INI TELAH BERUBAH JADI NERAKA. Tuntutan dari perjanjian taman eden akan segera berlaku, yaitu bergeraklah lebih dulu sampai keluar keringat bahkan darahmu, maka hidup dan kehidupan yang berkelimpahan akan dapat kau raih.
Berdasarkan pengalaman tersebut, maka diharapkan semua orang moi yang telah berpengalaman bisa memberitahu saudara suku Moi yang lain. Kami suku Moi sangat memimpikan jenis orang-orang Moi yang :
• Tahu masalah, memahami potensi, terlibat dalam pembangunan di kampung
• Memiliki kedewasaan dalam perilaku dan pola pikir serta kritis, sehingga bisa memahami hak-haknya
• Memiliki ketrampilan
• Mencerminkan karakter yang tekun, giat, rajin dalam bekerja, mampu mengambil keputusan, berani, tidak mudah putus asa, motivator, inovator, dll.
Demikian sedikit harapan kami tentang situasi dan kondisi suku moi saat ini dan diharapkan tahun ini suku moi mulai bangkit dan maju membela ketidakadilan, dan mampu bersaing dengan suku lain di papua.
****
Narasumber: beberapa pemuda Moi dalam diskusi di Asbaken dan Malaumkarta
Pewawancara dan penulis: Torianus Kalami & Ariance Rumere

Tulisan ini adalah hasil wawancara dan diskusi terbatas dengan beberapa orang.
Narasumber:
• Dominggus Sa
ni (p
emuda)
• Torianus Kalami (pemuda)
• Silas Kalami (pemuda)
• Amos Kalami (gur
u SD)
• Refianus Kalami (pemuda)
• Ferdinanda Ulimpa (tokoh perempuan)
• Erdward Ulimpa
(tokoh adat)
• Abner Bisulu (tokoh adat)
• Demianus Magablo (tokoh adat)
• Yowel Wali (toko
h adat)

Suku moi ini dia mempunya sebuah lembaga yang di beri nama Lembaga Masyarakat Adat Malamoi Sorong (LMA-MS) adalah organisasi paguyuban milik masyarakat adat Suku Moi yang merupakan salah satu suku bangsa terbesar di kepala burung tanah Papua dengan wilayah hukum dan pemerintahan adat terbentang dari Saukorem sampai Beraur.

Visi
LMA-MS memandang diri dan lingkungannya yang terdiri dari masyarakat adat istiadat, kearifan budaya, wilayah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta keberadaannya dilindungi oleh hukum adat, merupakan satu kesatuan sistem budaya yang telah ada sejak dahulu kala dan akan tetap ada sampai kapan pun.

Misi
Suatu sistem kerja yang mengandung nilai dasar dalam pelaksanaan visi LMA-MS, yang terdiri dari cara kerja dan pelaksanaannya tidak melanggar dasar-dasar kehidupan masyarakat adat Suku Moi yang mengandung nilai kebersamaan, keadilan, demokrasi, dan perlindungan terhadap HAM.

Dalam keadaan biasa maka LMA-MS akan melayani berdasarkan permintaan dan pengaduan dari masyarakat adat,namun dalam keadaan tertentu yang menurut sifatnya membahayakan dan merugikan kepentingan masyarakat adat, maka LMA-MS termasuk alat-alat pengabdiannya dapat melakukan tindakan intervensi.

Sejak kehadirannya organisasi ini tidak luput dari berbagai tantangan yang sifatnya internal dan eksternal.

Tantangan yang sifatnya internal:
1. Sikap Masyarakat Adat yang apatis dan oportunistis.
2. Kualitas SDM Pengurus yang rendah.
3. Kemampuan dana operasional yang tidak tersedia.

Tantangan yang sifatnya eksternal:
Tidak adanya dukungan aparat pemerintah terhadap kehadiran organisasi LMA-MA